Menu Close

Menggunakan upaya hukum yang irrasional

Dari judulnya anda bisa membayangkan bagaimana mungkin kita menggunakan upaya hukum yang irrasional dalam persidangan? namun hal ini menjadi hal yang biasa di Pengadilan. Bisa anda lihat sendiri apakah ada putusan Pengadilan yang tidak dibanding atau dikasasi? mungkin tidak ada karena putusan apapun akan selalu dihadapi dengan upaya banding atau kasasi, malah sampai menggunakan upaya peninjauan kembali.

Motifasi penggunaan upaya hukum yang irrasional pada umumnya karena:
– harga diri dan rasa gengsi,
– untuk balas dendam agar bisa mengulur-ulur waktu diadakannya eksekusi.
Tujuan penegakan hukum telah berobah arah dari arena pertarungan to enforce the truth and justice (menegakkan kebenaran dan keadilan) melenceng menjadi pertarungan merebut kemenangan atau kekalahan. Setiap kemenangan yang direbut, maka itulah yang disebut adil meskipun diperleh dengan cara yang curang, suap dan culas. Sebaliknya setiap kekalahan tetap dianggap tidak benar dan tidak adil, walaupun putusan itu seratus persen benar dan adil.

Motivasi gengsi dan dendam untuk mengulur waktu, telah menghancurkan tujuan penyelenggaraan peradilan dari cita-cita to enforce the truth and justice, menjadi keserakahan “the winner” atau “the looser“. Nafsu mengejar kemenangan dengan cara dan jalan apapun, telah menyebabkan penggunaan upaya banding, kasasi dan peninjauan kembali menjadi tindakan yang irrasional. Terkadang yang bersangkutan sudah sadar dan yakin putusan yang dijatuhkan sudah benar dan adil. Kesadaran dan keyakinan itu disingkirkan, dan diganti dengan tindakan irrasional mengajukan banding atau kasasi. Motivasinya, demi untuk mencari kemenangan. Tidak perduli apakah kemenangan yang diperoleh palsu, karena cara mendapatkannya dilakukan dengan jalan suap.

Apakah perilaku penggunaan upaya hukum yang irrasional ini dapat dikatakan irrasional? Barangkali tidak seluruhnya tepat. Kecenderungan untuk membanding atau mengkasasi setiap putusan, bukan hanya sekedar memburu kemenangan atau kekalahan. Gejala perilaku masyarakat memanfaatkan upaya-upaya hukum tersebut, barangkali sangat erat hubungannya dengan faktor “kehilangan kepercayaan“. Sudah hampir hilang kepercayaan masyarakat atas kemampuan dan ketulusan serta kejujuran aparat peradilan melaksanakan fungsi menegakkan kebenaran dan keadilan. Kecurigaan telah mengambil tempat menganti “kepercayaan” dalam lubuk hati sanubari mereka. Karena itu putusan peradilan selalu dikaitkan dengan persengkokolan dan penyuapan oleh pihak yang menang. Kecurigaan dan dugaan menjelma menjadi isu tendensius, yang mendorong pihak yang kalah mengajukan upaya hukum apapun.

See also  Pencopotan Kapolda Kalimantan Barat Brigjen Pol Zainal Abidin Ishak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments